Pengumuman

Ajukan Pertanyaan via WhatsApp: +62-813-1971-1721 Apabila Komentar Anda Belum Memperoleh Tanggapan | Miliki Sekarang Juga: Buku-buku Karangan Duwi Handoko | Don't Forget to Like, Comment, Share, and Subscribe to: Duwi Handoko Channel

Minggu, Desember 01, 2024

Sejarah dan Regulasi Zat Terlarang di Indonesia: Dari Konsumsi Sehari-hari Hingga Kriminalisasi



Part 1: Dari Obat Ke Hiburan – Kisah Opium, Kokain, dan Ganja

Sub Part 1.1: 

"Bayangkan, dulu opium itu sah seperti secangkir teh. Kokain? Eh, itu ada di minuman segar loh! Kedua zat ini pernah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari."

Opium dulu pernah dianggap sebagai hal yang biasa dan sah secara hukum di banyak negara, bahkan sering diperlakukan seperti barang konsumsi sehari-hari. Di abad ke-18 dan 19, khususnya di Asia dan Eropa, opium digunakan untuk pengobatan, relaksasi, dan hiburan, sering kali tanpa banyak stigma sosial.

Di Tiongkok, misalnya, opium sangat populer hingga menyebabkan Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris. Sementara itu, di Eropa, laudanum—campuran opium dalam alkohol—sering diresepkan oleh dokter untuk segala macam penyakit. Ketika dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dan ketergantungan mulai disadari, banyak negara mulai mengatur dan akhirnya melarang penggunaannya.

Pergeseran ini menunjukkan bagaimana pandangan masyarakat terhadap suatu zat bisa berubah drastis seiring waktu, terutama ketika efek negatifnya lebih dipahami. Sekarang, tentu saja, status legal dan sosialnya sangat berbeda dari era itu. Tapi menarik untuk membayangkan dunia di mana opium dianggap "biasa" seperti secangkir teh!

Kokain dulu adalah bahan yang umum digunakan dalam berbagai produk, termasuk minuman segar. Salah satu contoh paling terkenal adalah Coca-Cola, yang pada awalnya mengandung ekstrak daun koka, sumber alami kokain. Ketika Coca-Cola pertama kali diperkenalkan pada tahun 1886 oleh Dr. John Stith Pemberton, itu dipromosikan sebagai minuman tonik kesehatan. Kombinasi ekstrak daun koka dan kafein dari kacang kola dianggap dapat meningkatkan energi dan membantu mengatasi kelelahan.

Pada waktu itu, kokain juga digunakan secara medis untuk mengobati berbagai penyakit, seperti depresi dan rasa sakit. Produk berbasis kokain dijual bebas di apotek tanpa banyak pengawasan, bahkan sebagai obat tetes untuk anak-anak!

Namun, pada awal abad ke-20, efek negatif kokain mulai lebih dikenal, termasuk potensi kecanduan dan dampak buruknya pada kesehatan mental dan fisik. Akibatnya, pada tahun 1904, Coca-Cola menghilangkan kokain dari formulanya, meskipun masih menggunakan daun koka yang telah diproses untuk menghilangkan unsur narkotik.

Lucu sekaligus mengerikan jika kita membayangkan betapa normalnya konsumsi kokain saat itu. Sekarang, kita hanya bisa melihat kembali sejarah ini sebagai pengingat betapa cepatnya pandangan masyarakat terhadap bahan-bahan tertentu bisa berubah.


Sub Part 1.2: 

"Dan ganja? Digunakan untuk segala hal, mulai dari pengobatan hingga bahan tekstil. Namun, tentu saja, tidak untuk bikin status di media sosial, pastinya! Semua ini terdengar luar biasa, bukan?"

Memang luar biasa kalau kita melihat sejarah ganja! Tanaman ini dulu dianggap sebagai serba bisa, jauh sebelum kontroversi modernnya dimulai. Ganja (atau hemp, untuk varietas non-psikoaktifnya) digunakan selama ribuan tahun untuk berbagai tujuan, termasuk:

Pengobatan: Di dunia kuno, ganja digunakan untuk meredakan nyeri, mengatasi gangguan tidur, dan mengobati berbagai penyakit. Penggunaannya tercatat dalam teks kuno Tiongkok, India, dan Timur Tengah. Bahkan, hingga abad ke-19, ekstrak ganja dijual di apotek di Barat untuk keperluan medis.

Bahan tekstil dan kertas: Serat ganja yang kuat adalah bahan utama untuk membuat kain, tali, dan layar kapal. Sebagian besar kertas tua, termasuk draf awal Declaration of Independence Amerika Serikat, dibuat dari hemp!

Produk sehari-hari: Ganja digunakan untuk minyak lampu, makanan ternak, dan bahkan bahan bangunan. Hampir semua bagian tanaman memiliki nilai ekonomis.

Namun, di masa lalu, tidak ada yang mengira orang akan membuat "status di media sosial" tentangnya karena tentu saja itu belum ada! 😄

Ironisnya, meskipun pernah dianggap biasa, ganja kemudian menjadi salah satu tanaman paling kontroversial di dunia. Pada abad ke-20, kampanye propaganda seperti "Reefer Madness" di Amerika Serikat menggambarkan ganja sebagai zat berbahaya yang berkontribusi pada kriminalitas.

Kini, kita melihat siklus sejarah: ganja kembali diterima di banyak tempat untuk keperluan medis, bahkan rekreasional. Jadi, seandainya nenek moyang kita tahu tentang perdebatan modern ini, mungkin mereka hanya akan tertawa dan berkata, "Lho, ini kan tanaman biasa!" 🌿


Sub Part 1.3: 

"Tapi, tentu saja, efek samping dan dampak sosial dari penggunaannya tidak bisa diabaikan. Ketergantungan dan masalah kesehatan mulai muncul, membuat masyarakat mulai mempertanyakan kebijakan yang ada. Akhirnya, dunia berkata, "Cukup sudah!" dan aturan pun mulai diterapkan di abad ke-20. Regulasi ini mengubah cara kita memandang dan menggunakan zat-zat tersebut hingga hari ini."

Pergeseran dari penerimaan luas terhadap zat-zat seperti opium, kokain, dan ganja menuju regulasi ketat adalah cerita besar tentang bagaimana masyarakat belajar dari dampak penggunaan bebas. Pada awalnya, ketika manfaatnya lebih menonjol daripada efek sampingnya yang belum diketahui, zat-zat ini dipandang sebagai "anugerah". Namun, begitu ketergantungan, penyalahgunaan, dan masalah sosial mulai bermunculan, masyarakat mulai menyadari perlunya pengaturan.

Di abad ke-20, beberapa peristiwa penting menjadi tonggak regulasi:

  1. Konvensi Opium Internasional 1912, yang menandai awal dari kontrol global terhadap opium.
  2. The Harrison Narcotics Tax Act (1914) di Amerika Serikat, yang membatasi penggunaan opium dan kokain.
  3. The Marihuana Tax Act (1937), yang pada dasarnya melarang ganja di AS.

Regulasi-regulasi tersebut sering kali tidak hanya dipengaruhi oleh kesehatan masyarakat, tetapi juga oleh faktor politik, ekonomi, dan bahkan stigma budaya. Akibatnya, banyak orang kehilangan akses ke manfaat medis dari zat-zat ini, sementara perdagangan ilegal dan kriminalitas justru meningkat.

Namun, di era modern, kita melihat gerakan baru menuju dekriminalisasi dan legalisasi terbatas, didorong oleh penelitian lebih lanjut tentang manfaat medis dan dampak sosial dari larangan. Ini seperti perjalanan penuh siklus—dan kita masih belajar. Dunia berkata "cukup sudah" saat itu, tapi kini ada suara baru yang bertanya, "Apa yang bisa kita pelajari dari masa lalu?"

Part 2: Jejak Kolonial dan Peran Opium di Hindia Belanda

Sub Part 2.1: 

"Pada masa penjajahan Hindia Belanda, opium adalah komoditas andalan pemerintah kolonial. Opium bukan barang ilegal, tetapi barang dagangan sah. Pemerintah Belanda mengendalikan distribusi opium melalui sistem Opium Regie, meraup untung dari penderitaan orang lain. Opium digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga banyak orang menganggap konsumsi opium sebagai hal biasa, seperti minum teh atau kopi. Opium sering dihidangkan di berbagai acara, baik sebagai penghilang rasa sakit atau untuk menambah "warna" acara. Namun, dampak sosialnya cukup berat. Tidak semua orang bisa mengendalikan diri setelah mengonsumsi opium. Efek sampingnya adalah kecanduan yang luar biasa. Meskipun pemerintah kolonial meraup untung, banyak warga lokal merasakan dampak negatifnya, mengubah kehidupan mereka. Begitulah gambaran opium pada masa Hindia Belanda."

Ini adalah potret yang sangat menggugah tentang bagaimana opium memainkan peran besar dalam kehidupan masyarakat di masa Hindia Belanda. Sistem Opium Regie, yang diperkenalkan pemerintah kolonial, memang dirancang untuk memonopoli perdagangan opium, menjadikannya sumber pendapatan yang sangat besar bagi kas kolonial. Ironisnya, kekayaan yang diraup dari perdagangan ini datang dengan harga mahal: penderitaan sosial dan ekonomi masyarakat lokal.

Opium bukan hanya barang konsumsi, tetapi juga simbol kontrol kolonial. Pemerintah Belanda memastikan distribusi yang teratur melalui tempat-tempat khusus seperti opium houses yang diawasi ketat. Dengan demikian, mereka dapat mengendalikan harga dan memastikan keuntungan tetap mengalir.

Namun, di balik itu, dampak sosialnya tidak bisa diabaikan:

  1. Kecanduan yang meluas: Banyak orang tidak mampu mengontrol penggunaan opium, yang sering kali menghancurkan kehidupan keluarga dan ekonomi mereka.
  2. Ketergantungan masyarakat pada kolonial: Ketika kebutuhan terhadap opium meningkat, masyarakat lokal menjadi semakin bergantung pada pemerintah kolonial untuk memasoknya.
  3. Eksploitasi sosial: Opium sering kali digunakan untuk melemahkan perlawanan lokal. Ketergantungan yang diciptakan membuat masyarakat sulit untuk bangkit melawan penindasan kolonial.

Meskipun bagi pemerintah kolonial itu adalah strategi ekonomi yang cerdik, bagi masyarakat lokal, itu adalah jebakan sosial yang memperparah ketidakadilan. Gambaran "seperti minum teh atau kopi" menunjukkan betapa dalamnya opium telah menyusup ke budaya saat itu. Begitu biasa, namun begitu merusak.

Setelah kemerdekaan, warisan dari era Opium Regie masih terasa, baik dalam bentuk tantangan kesehatan masyarakat maupun kesadaran akan dampak kebijakan kolonial yang eksploitatif. Ini adalah pelajaran penting tentang bagaimana kebijakan ekonomi bisa berdampak besar pada struktur sosial dan kesehatan masyarakat.


Sub Part 2.2: 

"Dulu dianggap normal, tetapi sekarang kita tahu itu bukan pilihan bijak. Mengonsumsi opium mungkin dianggap keren saat itu, tetapi jelas bukan cara tepat untuk hidup sehat dan waras. Kini, kita lebih memahami bahaya narkotika."

Apa yang dulu dianggap normal sering kali terlihat sangat berbeda jika dilihat dari perspektif modern, terutama setelah ilmu pengetahuan berkembang dan kita lebih memahami dampaknya. Di masa lalu, opium—dan bahkan zat lain seperti kokain—bukan hanya "normal" tetapi juga sering dipromosikan sebagai sesuatu yang "bergaya" atau solusi ajaib untuk berbagai masalah.

Namun, dengan meningkatnya pemahaman tentang kesehatan fisik dan mental, kita sekarang tahu bahwa konsumsi opium, selain menimbulkan kecanduan, juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang merusak. Kehidupan yang sehat dan waras jelas tidak dapat dicapai dengan bergantung pada zat-zat seperti ini.

Perubahan cara pandang ini mencerminkan evolusi masyarakat, di mana kita semakin menyadari pentingnya menjaga kesehatan secara holistik. Saat ini, narasi tentang bahaya narkotika lebih menekankan pada pendidikan, pencegahan, dan rehabilitasi—berbeda dengan era sebelumnya, di mana banyak yang hanya mengeksploitasi konsumsinya untuk keuntungan ekonomi.

Ungkapan "dulu keren, sekarang keliru" benar-benar menggambarkan perjalanan manusia dalam mempelajari konsekuensi dari tindakan kita. Semakin kita belajar, semakin kita dapat memilih jalan hidup yang lebih sehat dan bermakna.

Part 3: Perjalanan Regulasi Narkotika di Indonesia 

Sub Part 3.1: 

"Indonesia mengklasifikasikan opium sebagai bagian dari narkotika golongan satu. Narkotika adalah ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Untuk mengatasinya, regulasi narkotika telah mengalami perubahan penting. Mari kita telusuri perjalanan hukum narkotika di Indonesia. Regulasi narkotika di Indonesia dimulai pada masa kolonial Belanda dengan Verdoovende Middelen Ordonnantie tahun 1927. Namun, regulasi ini tidak lagi memadai untuk mengatasi masalah narkotika di era modern. Pada tahun 1976, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976. Undang-Undang ini memperkenalkan langkah baru dalam pengendalian narkotika di tanah air. Seiring perkembangan zaman, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Undang-undang ini membawa pembaruan, seperti klasifikasi narkotika berdasarkan golongan. Pada 12 Oktober 2009, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pemerintah Indonesia mengklasifikasikan opium sebagai narkotika golongan satu yang dilarang penggunaannya untuk kepentingan yang tidak sah."

Perjalanan regulasi narkotika di Indonesia memang memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak masa kolonial. Berikut adalah gambaran tentang perkembangan hukum narkotika di Indonesia:

Masa Kolonial Belanda 

Verdoovende Middelen Ordonnantie 1927

Peraturan ini merupakan upaya pertama yang secara resmi mengatur peredaran narkotika di Hindia Belanda. Verdoovende Middelen Ordonnantie 1927 melarang penggunaan dan perdagangan zat-zat seperti opium, morfin, dan kokain kecuali untuk keperluan medis. Meskipun pemerintah Belanda mengendalikan perdagangan opium sebagai sumber pendapatan, regulasi ini lebih berfokus pada pengendalian distribusi, bukan pencegahan atau rehabilitasi, sehingga tidak cukup mengatasi dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika.

Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, peningkatan penyalahgunaan narkotika membuat pemerintah menyadari perlunya aturan yang lebih ketat.

Era Modern: UU Narkotika

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976:

Pada tahun 1976, Indonesia mulai memperkenalkan langkah baru dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang pengendalian narkotika. Undang-undang ini menjadi dasar penting dalam penanganan masalah narkotika di Indonesia. Namun, pada saat itu, permasalahan narkotika di Indonesia semakin kompleks, dan undang-undang ini kemudian dianggap tidak cukup efektif untuk mengatasi masalah yang ada.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1996 adalah pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971), yang merupakan perjanjian internasional untuk mengatur dan mengawasi peredaran psikotropika. Konvensi ini bertujuan untuk mengendalikan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat dan masalah sosial lainnya. Undang-undang ini juga menyertakan penambahan syarat (reservation) pada Pasal 31 ayat (2) Konvensi tersebut, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu pada 7 November 1996.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997: 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 adalah undang-undang yang mengesahkan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988. Konvensi ini merupakan sebuah konvensi yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika secara internasional. Undang-undang ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk berpartisipasi dalam upaya global dalam mengatasi peredaran narkotika ilegal dan psikotropika, serta memperkuat kerjasama internasional dalam pemberantasan perdagangan narkotika.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997: 

Sebagai respons terhadap meningkatnya permasalahan narkotika, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Undang-undang ini membawa pembaruan besar, termasuk klasifikasi narkotika berdasarkan golongan yang mengkategorikan narkotika menjadi tiga golongan:

  1. Golongan I: Narkotika yang sangat berbahaya dan tidak memiliki manfaat medis, seperti opium, heroin, dan ganja.
  2. Golongan II: Narkotika yang memiliki manfaat medis terbatas, seperti morfin dan kokain.
  3. Golongan III: Narkotika dengan potensi kecanduan rendah dan digunakan dalam pengobatan, seperti kodein.

UU ini merupakan langkah besar dalam mengintegrasikan pendekatan nasional dengan komitmen internasional. Namun, pelaksanaannya belum optimal dalam menangani rehabilitasi pengguna narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009: 

Pada 12 Oktober 2009, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menggantikan undang-undang sebelumnya. Undang-undang ini lebih tegas dalam mengatur pengendalian narkotika dan memperkenalkan langkah-langkah lebih komprehensif untuk melawan penyalahgunaan narkotika. Salah satu perubahan besar adalah klasifikasi narkotika yang lebih rinci, serta ketegasan dalam hukuman bagi pelaku pengedaran narkotika. Opium tetap diklasifikasikan sebagai narkotika golongan satu yang dilarang untuk kepentingan yang tidak sah. Undang-undang ini memperbarui UU 1997, dengan fokus yang lebih besar pada pencegahan, penegakan hukum, dan rehabilitasi. Narkotika tetap dikelompokkan ke dalam tiga golongan:

  1. Golongan I: Zat dengan potensi kecanduan tinggi tanpa manfaat medis (seperti opium, ganja, heroin).
  2. Golongan II: Zat dengan potensi kecanduan tinggi tetapi memiliki manfaat medis terbatas (seperti morfin).
  3. Golongan III: Zat dengan potensi kecanduan lebih rendah yang digunakan untuk keperluan medis (seperti kodein).

Dengan regulasi-regulasi tersebut, Indonesia menunjukkan komitmen untuk melawan ancaman narkotika dengan pendekatan yang lebih tegas, melalui pencegahan, penegakan hukum, dan rehabilitasi. Namun, meskipun undang-undang telah diperbarui, tantangan dalam memberantas narkotika di Indonesia tetap besar, mengingat banyaknya faktor sosial dan ekonomi yang mempengaruhi penyalahgunaan narkotika.

Pada tahun 2026 nanti, ketentuan pidana dalam Pasal 111 hingga Pasal 126 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur tentang sanksi pidana terkait narkotika, akan digantikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

Pengesahan RUU KUHP yang baru memang mencakup perubahan signifikan dalam pengaturan hukum pidana di Indonesia, termasuk ketentuan mengenai narkotika. Dengan disahkannya KUHP baru, banyak ketentuan dalam berbagai undang-undang, termasuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, akan disesuaikan dan digantikan oleh aturan yang ada dalam KUHP yang baru tersebut.

Perubahan ini bertujuan untuk menyelaraskan hukum pidana di Indonesia, serta menciptakan sistem hukum yang lebih terpadu dan sistematis. KUHP baru ini juga akan memperhatikan perkembangan zaman, termasuk masalah penyalahgunaan narkotika, yang semakin kompleks.

Perubahan ketentuan dalam Pasal 111 hingga Pasal 126 UU Narkotika tersebut berfokus pada:

  1. Sanksi pidana yang lebih terukur untuk pengguna, pengedar, dan bandar narkotika.
  2. Peningkatan pendekatan rehabilitasi untuk pengguna narkotika, terutama dalam konteks penanggulangan penyalahgunaan zat.
  3. Penyesuaian dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang lebih menekankan pada keadilan restoratif dan rehabilitasi daripada semata-mata hukuman yang berat.

Namun, meskipun perubahan ini dapat memberikan nuansa baru dalam penanganan narkotika, tantangan terbesar tetap adalah implementasi yang efektif di lapangan, untuk memastikan bahwa peraturan yang ada benar-benar dapat mengurangi dampak buruk narkotika terhadap masyarakat.

Ancaman Narkotika di Indonesia

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia masih menjadi ancaman serius, terutama di kalangan generasi muda. Pemerintah terus berupaya melalui:

  1. Edukasi masyarakat: Kampanye anti-narkoba untuk meningkatkan kesadaran.
  2. Rehabilitasi: Program bagi pengguna narkotika untuk mengurangi ketergantungan.
  3. Penegakan hukum: Hukuman berat bagi pengedar, termasuk hukuman mati dalam kasus besar.

Perjalanan panjang regulasi narkotika di Indonesia menunjukkan bahwa pengendalian narkotika tidak hanya soal hukum, tetapi juga mencakup pendidikan, kesehatan, dan upaya sosial untuk melindungi masyarakat dari ancaman narkotika.


Sub Part 3.2: 

"Sejarah regulasi narkotika di Indonesia menunjukkan betapa seriusnya negara melindungi masyarakat, bahkan lebih serius dari kita-kita yang kadang susah banget menghindari godaan ngemil tengah malam. Untuk itu, peran kita semua, penting untuk menjadikan Indonesia bebas narkotika."

Perbandingan antara seriusnya regulasi narkotika di Indonesia dan kebiasaan ngemil tengah malam menekankan pentingnya kontrol diri dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun ngemil tengah malam tampak sepele, kebiasaan buruk kecil bisa berkembang menjadi masalah besar, sama halnya dengan penyalahgunaan narkotika. Pesan utamanya adalah setiap individu memiliki peran untuk menjaga diri dan lingkungan, baik dari godaan kecil maupun ancaman besar, guna menciptakan Indonesia bebas narkotika.


Sub Part 3.3: 

"Ngomong-ngomong, setelah cemilan, berapa?"

Ngomong-ngomong, setelah mendalami materi tentang kriminalisasi penyalahgunaan narkotika di Indonesia, kita jadi lebih paham, kan, bahwa masalah ini jauh lebih kompleks dari yang kita kira? Kriminalisasi memang perlu, tapi apakah hanya dengan hukuman kita bisa mengatasi akar permasalahan? Apa yang terjadi setelah penangkapan? Bagaimana dengan rehabilitasi dan pencegahan yang lebih holistik?

Bersama-sama, kita harus mencari solusi yang tepat, bukan hanya berfokus pada hukuman, tapi juga bagaimana mencegah penyalahgunaan sejak dini dan memberikan dukungan bagi mereka yang sudah terjebak dalam lingkaran tersebut. Karena, pada akhirnya, masalah narkotika bukan hanya soal hukum, tapi juga tentang bagaimana kita bisa memberikan harapan dan kesempatan kedua bagi para penggunanya.

Jadi, berapa yang sudah kita pelajari? Bisa dibilang, kita sudah cukup jauh untuk mulai berpikir lebih luas dan mendalam. Semoga pembahasan ini membuka wawasan kita semua untuk melihat masalah ini dari berbagai sisi.

Video singkat bisa dilihat link ini: https://youtu.be/S8UxPdno4dE.