Pengumuman

Ajukan Pertanyaan via WhatsApp: +62-813-1971-1721 Apabila Komentar Anda Belum Memperoleh Tanggapan | Miliki Sekarang Juga: Buku-buku Karangan Duwi Handoko | Don't Forget to Like, Comment, Share, and Subscribe to: Duwi Handoko Channel
Tampilkan postingan dengan label Asas Hukum Acara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Asas Hukum Acara. Tampilkan semua postingan

Jumat, Oktober 14, 2016

Asas In Dubio Pro Reo - by Hendra Purnama Debi

Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” adalah asas hukum pidana yang memerintahkan penegak hukum agar menggali fakta-fakta tentang terjadinya peristiwa pidana dan kemudian berdasarkan bukti-bukti yang cukup sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, penyidik menetapkan seseorang menjadi tersangka. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya di muka persidangan bahwa benar terdakwa telah melakukan tindak pidana dan terhadap yang bersangkutan dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jika hakim merasakan keraguan atas kebenaran bukti-bukti mengenai dugaan terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan maka hakim harus memutuskan untuk kepentingan keuntungan terdakwa bukan untuk kepentingan negara cq. penuntut umum (asas in dubio pro reo) sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Selengkapnya Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 56/PUU-IX/2011, hlm. 41-42).

Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam suasana keragu-raguan hakim, sangat relevan menghubungkannya dengan Doktrin Hukum Pidana yaitu asas "in dubio pro reo" yang maksudnya dalam keragu-raguan maka harus dipilih ketentuan atau penjelasan yang paling menguntungkan bagi terdakwa (Selengkapnya Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 87 PK/Pid/201387, hlm. 14).



Lihat Asas-asas Lainnya:




















Kamis, Oktober 13, 2016

Asas Notoire Feiten - by Prildan Kartasiswara

Istilah notoire feiten notorious (generally known) berarti hal secara umum diketahui. Pengertian “hal secara umum diketahui” tiada lain daripada “perihal atau “keadaan” atau omstandigheiden atau circumstance yaitu kesimpulan yang didasarkan pengalaman umum ataupun berdasar pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa atau keadaan yang seperti itu “senantiasa” menimbulkan akibat yang pasti demikian (Selengkapnya lihat Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah Nomor 33/PID/2015/PT PAL, hlm. 10).

Notoire feiten dapat juga diartikan sebagai sudah menjadi rahasia umum (Selengkapnya lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 875 K/PID.SUS/2014, hlm. 10). Selain itu, notoire feiten dapat juga diartikan telah menjadi pengetahuan umum (Selengkapnya lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014, hlm. 24 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  019/PUU-I/2003, hlm. 7) atau sudah menjadi pengetahuan masyarakat (Selengkapnya lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010, hlm. 61).

Asas notoire feiten dalam hukum positif Indonesia, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disebutkan bahwa hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.




Lihat Asas-asas Lainnya:


















Asas Accusatoir - by Yusuf Parlindungan.

Asas Accusatoir - by Yusuf Parlindungan

Pengundangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertujuan untuk menegakkan hukum dengan perlindungan hak asasi dari terdakwa dimana tersangka atau terdakwa merupakan subjek bukan sebagai objek dalam sistem peradilan pidana mulai dari tingkat penyidikan,penuntutan, pengadilan sampai tahap pelaksanaan putusan (sistem accusatoir), sehingga tersangka/terdakwa mempunyai kedudukan dan hak serta kewajiban yang sama dengan penyidik dan penuntut umum dalam menyelesaikan perkara pidana sesuai dengan hukum pidana yang berlaku (Selengkapnya lihat Putusan Pengadilan Negeri Nabire Nomor 05/Pid-B/2011/PN.Nbe, hlm. 19).

KUHAP bercirikan crime control model yang hanya mengutamakan efisien dan efektifitas proses peradilan pidana yang lebih mengutamakan kekuasaan negara, serta dilandasi dengan prinsip praduga bersalah (presumption of kill) sudah ditinggalkan dan digantikan dengan due process model yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga negara dengan dilandasi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Di Indonesia hal ini terkenal dengan pergeseran dari sistem inquisitoir ke arah sistem accusatoir. Pada tahun 2000 dinyatakan bahwa tugas yuridis hukum pidana tidak hanya mengontrol masyarakat, tetapi juga mengontrol penguasa (Selengkapnya lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-IX/2011, hlm. 32).

Berdasarkan Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B.), yang dimaksud dengan accusatoir adalah memberikan kesempatan kepada seorang tersangka untuk dapat didampingi pembela pada waktu perkaranya mulai diperiksa oleh Polisi. Hal ini selengkapnya diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan dalam ayat (6) pasal 83h ini ada hubungannya dengan perihal "penasehat hukum" atau "pembela" dalam berperkara. Bolehkah seorang tersangka pada waktu diperiksa perkaranya oleh Polisi atau Jaksa (pemeriksaan pendahuluan) dibantu oleh seorang pembela atau penasihat hukum? Menurut ayat (6) pasal ini jika seorang tersangka dituduh melakukan sesuatu kejahatan yang diancam dengan pidana mati, maka Jaksa wajib menanyakan kepadanya apakah ia berkehendak di sidang pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau ahli hukum. Menurut pasal 254 (1) H.I.R. seorang terdakwa memang berhak untuk kepentingannya didampingi oleh pembela, ini boleh seorang sarjana hukum atau ahli hukum lain yang biasa disebut pokrol atau pengacara, malahan menurut pasal 250 (5) H.I.R. bagi terdakwa yang dituduh melakukan peristiwa pidana yang ada ancamannya pidana mati, oleh Hakim ditunjuk seorang penasihat hukum dengan percuma, akan tetapi hal ini mengenai pada waktu di sidang pengadilan, atau tepatnya setelah perkara itu diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pada waktu pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan 'hak tersangka atas bantuan seorang pembela, sehingga Jaksa atau Jaksa Pembantu berwenang menolak seorang pembela yang akan mendampingi tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan, ini adalah sifat inquisitoir yang masih melekat pada H.I.R., lain halnya dengan hukum acara pidana di Negeri Belanda misalnya yang sifatnya sudah accusatoir, yaitu memberikan kesempatan kepada seorang tersangka untuk dapat didampingi pembela pada waktu perkaranya mulai diperiksa oleh Polisi. Dalam Undang-undang Pokok Kehakiman (UU. No. 14/1970) telah ditentukan, bahwa tersangka sejak saat ditangkap/ditahan (pemeriksaan pendahuluan) berhak untuk dibantu oleh pembela atau penasihat hukum, cara bagaimana pelaksanaannya masih harus diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Selama undang-undang yang baru ini belum dibuat, maka yang berlaku masih tetap peraturan yang ditentukan dalam H.I.R. (Lihat penjelasan atas Pasal 83h ayat (6) HIR atau RIB).


Lihat Asas-asas Lainnya:



















Sabtu, Oktober 01, 2016

Asas Wo Kein Klager ist; ist Kein Richter – Kalau Tidak Ada Tuntutan Hak, Maka Tidak Ada Peradilan - by Susi Susanti

Asas Wo Kein Klager ist; ist Kein Richter – Kalau Tidak Ada Tuntutan Hak, Maka Tidak Ada Peradilan - by Susi SusantiSyarat mutlak untuk berperkara di depan Pengadilan (untuk perkara perdata, pen) adalah harus ada unsur sengketa antara kedua belah pihak berperkara. Dengan kata lain suatu perkara harus mengandung sengketa, sebab dalam hukum acara perdata ”ada sengketa ada perkara (gen blang gen actie)”. Adigium lain menyebutkan ”kalau tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada peradilan (wo kein klager ist, ist kein richter)” sebagaimana maksud Pasal 283 R.Bg (Selengkapnya lihat: Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan Nomor 39/Pdt.G/2015/PTA.Mdn, hlm. 2).


Dalam asas-asas Hukum Acara Perdata, salah satunya adalah hakim bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan tuntutan atau gugatan adalah hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan, demikian pameo yang tidak asing lagi (wo kein klager ist, ist kein richter, nemo judex sine actore). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1399 K/Pdt/2012, hlm. 12.


Menurut Moh. Taufik Makarao, dalam bukunya "Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata" (hal. 8), dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada Penggugat, maka Penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, setelah berperkara diajukan, ia dalam batas-batas tertentu dapat mengubah atau mencabut kembali gugatannya. (lihat Putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 Oktober 1970 Nomor 546 K/Sip/1970, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia, diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, penerbitan 1971, halaman 374-red). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1372 K/Pdt/2013, hlm. 9.


Masih menurut Makarao, apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada Hakim (wo kein klager ist, ist kein richter; nemo judex sine actore). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang Hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya (judex ne procedat ex officio). Termasuk dalam menentukan siapa yang akan digugat, tentu Penggugat tahu siapa yang "dirasa" telah melanggar haknya dan merugikan dirinya. Dengan demikian, Penggugat dapat memilih siapa yang akan dijadikan Tergugat dengan mencantumkannya dalam surat gugatan (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1372 K/Pdt/2013, hlm. 10).



Lihat Asas-asas Lainnya:












Kamis, September 29, 2016

Asas Equality Before the Law– Similia Similibus – Persamaan dalam Hukum - by Ryan Damas Jayantri dan Raja Juraidah Jaya

Equality Before the Law adalah salah satu unsur dari The Rule of Law Principle menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Elemen-elemen “the rule of law principles” menurut PBB tersebut selengkapnya adalah: 1) supremacy of law; 2). equality before the law; accountability to the law; fairness in the application of the law; separation of power; legal certainty; avoidance of arbitrary; dan procedural of legal certainty (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XI/2013, hlm. 10).

Persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah salah satu penyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum (Rechstaat) yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum (The Rule of Law/Rechtstaat) dalam arti yang sebenarnya, yakni: 1) Supremasi hukum (supremacy of Law); 2) Persamaan dalam Hukum (equality before the Law); 3) Asas Legalitas (due process of law); 4) Pembatasan Kekuasaan; 5) Organ-Organ Eksekutif Independen; 6) Peradilan bebas dan tidak memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Peradilan Tata Negara (constitutional court); 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 10) Bersifat Demokratis (democratisch rechtstaat); 11) Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechtsstaat); serta 12). Transparansi dan Kontrol sosial (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, hlm. 9-10).

Jimly Asshiddiqie, menegaskan terkait “Persamaan dalam Hukum (equality before the law), adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang sudah jauh lebih maju (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, hlm. 10).

Secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal
27 ayat (1) dan 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.“

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Prinsip Equality Before the Law adalah istilah asing dalam Bahasa Inggris untuk menyebutkan asas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam Bahasa Latin, istilah untuk menyebutkan asas tersebut menurut hemat penulis adalah dapat dengan menggunakan istilah similia similibus.

Asas Similia Similibus berarti perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama atau serupa (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 369 K/TUN/2011, hlm. 13).


Lihat Asas-asas Lainnya: