Pengundangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) bertujuan untuk menegakkan hukum dengan perlindungan hak asasi dari
terdakwa dimana tersangka atau terdakwa merupakan subjek bukan sebagai objek
dalam sistem peradilan pidana mulai dari tingkat penyidikan,penuntutan,
pengadilan sampai tahap pelaksanaan putusan (sistem accusatoir), sehingga tersangka/terdakwa mempunyai kedudukan dan
hak serta kewajiban yang sama dengan penyidik dan penuntut umum dalam menyelesaikan
perkara pidana sesuai dengan hukum pidana yang berlaku (Selengkapnya lihat
Putusan Pengadilan Negeri Nabire Nomor 05/Pid-B/2011/PN.Nbe, hlm. 19).
KUHAP bercirikan
crime control model yang hanya mengutamakan efisien dan efektifitas
proses peradilan pidana yang lebih mengutamakan kekuasaan negara, serta
dilandasi dengan prinsip praduga bersalah (presumption of kill) sudah
ditinggalkan dan digantikan dengan due process model yang menjaga
keseimbangan antara kekuasaan negara dan perlindungan terhadap hak-hak sipil
warga negara dengan dilandasi asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence). Di Indonesia hal ini terkenal dengan pergeseran dari sistem inquisitoir
ke arah sistem accusatoir. Pada tahun 2000 dinyatakan bahwa tugas
yuridis hukum pidana tidak hanya mengontrol masyarakat, tetapi juga mengontrol
penguasa (Selengkapnya lihat Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 56/PUU-IX/2011, hlm. 32).
Berdasarkan Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) atau Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (R.I.B.), yang
dimaksud dengan accusatoir
adalah memberikan kesempatan kepada seorang tersangka untuk dapat didampingi pembela
pada waktu perkaranya mulai diperiksa oleh Polisi. Hal ini selengkapnya
diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan
dalam ayat (6) pasal 83h ini ada hubungannya dengan perihal "penasehat
hukum" atau "pembela" dalam berperkara. Bolehkah seorang
tersangka pada waktu diperiksa perkaranya oleh Polisi atau Jaksa (pemeriksaan
pendahuluan) dibantu oleh seorang pembela atau penasihat hukum? Menurut ayat
(6) pasal ini jika seorang tersangka dituduh melakukan sesuatu kejahatan yang
diancam dengan pidana mati, maka Jaksa wajib menanyakan kepadanya apakah ia
berkehendak di sidang pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau ahli
hukum. Menurut pasal 254 (1) H.I.R. seorang terdakwa memang berhak untuk
kepentingannya didampingi oleh pembela, ini boleh seorang sarjana hukum atau
ahli hukum lain yang biasa disebut pokrol atau pengacara, malahan menurut pasal
250 (5) H.I.R. bagi terdakwa yang dituduh melakukan peristiwa pidana yang ada
ancamannya pidana mati, oleh Hakim ditunjuk seorang penasihat hukum dengan
percuma, akan tetapi hal ini mengenai pada waktu di sidang pengadilan, atau tepatnya
setelah perkara itu diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pada waktu pemeriksaan
pendahuluan yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa, tidak ada satu pasal pun yang
menyebutkan 'hak tersangka atas bantuan seorang pembela, sehingga Jaksa atau Jaksa
Pembantu berwenang menolak seorang pembela yang akan mendampingi tersangka
dalam pemeriksaan pendahuluan, ini adalah sifat inquisitoir yang masih melekat pada H.I.R., lain halnya dengan
hukum acara pidana di Negeri Belanda misalnya yang sifatnya sudah accusatoir, yaitu memberikan kesempatan
kepada seorang tersangka untuk dapat didampingi pembela pada waktu perkaranya
mulai diperiksa oleh Polisi. Dalam Undang-undang Pokok Kehakiman (UU. No. 14/1970)
telah ditentukan, bahwa tersangka sejak saat ditangkap/ditahan (pemeriksaan
pendahuluan) berhak untuk dibantu oleh pembela atau penasihat hukum, cara bagaimana
pelaksanaannya masih harus diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Selama
undang-undang yang baru ini belum dibuat, maka yang berlaku masih tetap
peraturan yang ditentukan dalam H.I.R. (Lihat penjelasan atas Pasal 83h ayat
(6) HIR atau RIB).
Lihat
Asas-asas Lainnya: