Syarat
mutlak untuk berperkara di depan Pengadilan (untuk perkara perdata, pen) adalah
harus ada unsur sengketa antara kedua belah pihak berperkara. Dengan kata lain suatu
perkara harus mengandung sengketa, sebab dalam hukum acara perdata ”ada sengketa
ada perkara (gen blang gen actie)”. Adigium
lain menyebutkan ”kalau tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada peradilan (wo kein klager
ist, ist kein richter)” sebagaimana maksud Pasal 283 R.Bg
(Selengkapnya lihat: Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan Nomor
39/Pdt.G/2015/PTA.Mdn, hlm. 2).
Dalam
asas-asas Hukum Acara Perdata, salah satunya adalah hakim bersifat menunggu,
artinya inisiatif untuk
mengajukan tuntutan atau gugatan adalah hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan, demikian pameo yang tidak asing lagi (wo kein klager ist, ist kein richter, nemo
judex sine actore). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1399 K/Pdt/2012,
hlm. 12.
Menurut
Moh. Taufik Makarao, dalam bukunya "Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata"
(hal. 8), dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada Penggugat, maka
Penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, setelah
berperkara diajukan, ia dalam batas-batas tertentu dapat mengubah atau mencabut
kembali gugatannya. (lihat Putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 Oktober 1970
Nomor 546 K/Sip/1970, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia, diterbitkan oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia, penerbitan 1971, halaman 374-red). Selengkapnya
lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1372
K/Pdt/2013, hlm. 9.
Masih
menurut Makarao, apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau
tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak
yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak
ada Hakim (wo kein klager ist, ist kein richter; nemo judex sine actore). Jadi
tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang Hakim
bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya (judex ne procedat
ex officio). Termasuk
dalam menentukan siapa yang akan digugat, tentu Penggugat tahu siapa yang
"dirasa" telah melanggar haknya dan merugikan dirinya. Dengan
demikian, Penggugat dapat memilih siapa yang akan dijadikan Tergugat dengan
mencantumkannya dalam surat gugatan (Selengkapnya lihat: Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1372 K/Pdt/2013, hlm. 10).
Lihat
Asas-asas Lainnya:
Asas Equality Before the Law– Similia
Similibus – Persamaan dalam Hukum – by Ryan
Damas Jayantri and Raja
Juraidah Jaya.