Pengumuman

Ajukan Pertanyaan via WhatsApp: +62-813-1971-1721 Apabila Komentar Anda Belum Memperoleh Tanggapan | Miliki Sekarang Juga: Buku-buku Karangan Duwi Handoko | Don't Forget to Like, Comment, Share, and Subscribe to: Duwi Handoko Channel

Kamis, September 29, 2016

Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur - Apa yang Telah Diputus oleh Hakim Harus Dianggap Benar - by Raja Fatimah

Res judicata pro veritate habetur adalah salah satu prinsip dalam kekuatan putusan hakim. Res judicata pro veritate habetur menurut Sudikno Mertokusumo adalah prinsip mengenai kekuatan suatu putusan dalam arti positif, yaitu apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006, hlm. 12).
Menurut Mahkamah Konstitusi, Res Judicata Pro Veritate Habetur berarti putusan hakim itu dianggap benar dan harus dihormati (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PHPU.D-X/2012, hlm. 71).

Pembatasan terhadap prinsip res judicata pro veritate habetur adalah putusan pengadilan itu haruslah dianggap benar sebelum pengadilan yang lebih tinggi memutus lain (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PHPU.D-XI/2013, hlm. 38).

Dalam perkara Nomor 101/PHPU.D-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan, yaitu adalah suatu prinsip bahwa putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) sampai dinyatakan adanya putusan pengadilan yang lebih tinggi yang berwenang yang membatalkan putusan tersebut (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PHPU.D-X/2012, hlm. 152-153).

Sebagai bagian penutup, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya memegang prinsip bahwa putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) sampai dinyatakan adanya putusan pengadilan yang lebih tinggi yang berwenang yang membatalkan putusan tersebut (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2013, tanggal 22 November 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PHPU.D-X/2013, tanggal 5 November 2013, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PHPU.DX/ 2013, tanggal 15 Januari 2013 ). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PHPU.D-XI/2013, hlm. 30.


Lihat Asas-asas Lainnya:









Rabu, September 28, 2016

Asas Teritorial atau Asas Wilayah – by Jumaidi Rahman and Apceria Pardosi

Asas Teritorial atau Asas Wilayah – by Jumaidi Rahman Berdasarkan Pasal 2 KUHP, disebutkan bahwa “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.”

Penerapan asas teritorialitiet sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP, dilakukan dengan memperhatikan tempat terjadinya tindak pidana (Lihat: Putusan Pengadilan Negeri Magetan Nomor 44/Pid.Sus/2015/PN.MGT (Pertambangan), hlm. 20). Hukum pidana dalam ketentuan KUHP sejak tanggal 1 Januari 1918 adalah berlaku untuk setiap orang (algemeen ius commune) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 KUHP (Lihat Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 27/Pid B/2014/PN.PWK, hlm. 9). Kata setiap orang dalam KUHP biasanya disebut dengan “barang siapa”. Dalam beberapa putusan, unsur pidana berupa “barang siapa” biasanya dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 KUHP. Salah satu contoh dari putusan tersebut diuraikan di bawah ini.

Asas Teritorial atau Asas Wilayah – by Apceria PardosiUnsur barang siapa adalah setiap orang selaku subyek hukum, dalam pengertian seseorang secara pribadi atau menunjuk pada suatu badan hukum tertentu yang mampu bertanggungjawab menurut hukum. Sehingga oleh karenanya sebagai salah satu unsur pembentuk delik, maka harus ditafsirkan bahwa unsur barang siapa di sini adalah menunjuk pada orang atau badan hukum yang “mampu” mewujudkan (melakukan) sebuah delik (perbuatan/tindak pidana). Selain itu, unsur ini juga merupakan implementasi atas keberlakuan ketentuan Pasal 2 KUHP, sehingga artinya adalah bahwa “barang siapa” sebagaimana didefinisikan di atas harus juga diterjemahkan sebagai setiap orang pelaku delik yang dapat (boleh) dihukum menurut hukum Indonesia (Lihat: Putusan Pengadilan Negeri Arga Makmur Nomor 214/Pid.B/2013/PN.AM, hlm. 13-14).

Berdasarkan Pasal 3 KUHP, disebutkan bahwa “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.”

Lihat Asas-asas Lainnya:






Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori – by Novriyani Irja

Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori – by Novriyani Irja

Berdasarkan ajaran tentang ruang lingkup (gebeidsleer) dari Logemann, yang menyatakan bahwa pemberlakuan suatu norma dalam suatu peraturan perundang-undangan itu didasarkan pada tiga domain yakni: a) persoonen gebied; b) ruimtelijke gebied, dan c) tijdsgebied


Kaitannya dengan ruang lingkup berlakunya hukum dari aspek domain waktu (tijdsgebied/sphere of time)), maka setiap norma itu memiliki domain waktu daya pemberlakuannya. Dengan demikian, dari domain tijdsgebied ini dalam Ilmu Perundang-undangan lahirlah istilah hukum, konsep, dan asas perundang-undangan antara lain: a) ius constitutum-ius constituendum; b) lex posterior derogat legi priori; c) intertemporalrecht-transituursrecht; d) retroactivenonretroactive; e) tempus delictus, f) “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”, yang kesemuanya itu berkenaan dengan daya berlakunya suatu norma (tijdsgebied) dalam suatu peraturan perundang-undangan (Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-VIII/2010, hlm. 52).


Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori (peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu) merupakan salah satu asas peraturan perundang-undangan. Asas peraturan perundang-undangan lainnya adalah seperti asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/SKLN-XI/2013, hlm. 20.


Salah satu contoh dari pemberlakuan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori adalah sebagaimana diatur di dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.


Apabila diperhatikan gambar asas hukum yang tertera pada postingan kali ini, Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bukan berarti dasar hukum dari asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, melainkan hanya contoh dari penerapan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori.


Lihat Asas-asas Lainnya:









Asas Legalitas – by Putra Wahyu Pratana, Linda Lie, Raja Fatimah, Muhammad Fadillah, and Eko Satria Putra

Memberlakukan suatu ketentuan hukum pidana tanpa dirumuskan lebih dahulu secara tertulis (secara legitim) pada hakikatnya melanggar asas legalitas (Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, hlm. 83). Oleh karena itu, sudah tepat aturan yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menganut asas: Nullum delictum, nullapuna sine praevia lege punali (tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman jikalau tidak lebih dulu ada suatu aturan hukum pidana). Pasal 1 ayat (1) KUHP itu sendiri berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas dapat pula diketahui dari adagium atau pepatah atau peribahasa yang dinyatakan oleh von Feuerbach (Lihat; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 132/PHPU.D-XI/2013, hlm. 35), yang berbunyi: “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau dengan kata lain: 1) tidak ada hukuman, kalau tak ada undang-undang; 2) tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan; dan 3) tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan undang-undang.
















Lihat Asas Lainnya:



Asas Litis Finiri Oportetby Ali Sahbana Munthe.


https://invite.cashtree.id/9c5aed

Asas Litis Finiri Oportet – By Ali Sahbana Munthe

Asas Litis Finiri Oportet – By Ali Sahbana MuntheAsas “Litis Finiri Oported atau asas “Suatu Perkara Harus Ada Akhir” menjadi bagian dalam penegakan hukum di Indonesia.

Suatu perkara (permasalahan hukum yang harus diselesaikan) dinyatakan berakhir apabila tidak terdapat lagi “upaya hukum biasa” dan “upaya hukum luar biasa”.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 45/PUU-XIII/2015, disebutkan bahwa: memang benar di dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, yakni setiap perkara harus ada akhirnya. Namun, menurut Mahkamah Konstitusi, hal itu berkaitan dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid (kaku) dapat diterapkan karena hanya dengan membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan (Lihat: Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.


Lihat Asas Lainnya: