Pengumuman

Ajukan Pertanyaan via WhatsApp: +62-813-1971-1721 Apabila Komentar Anda Belum Memperoleh Tanggapan | Miliki Sekarang Juga: Buku-buku Karangan Duwi Handoko | Don't Forget to Like, Comment, Share, and Subscribe to: Duwi Handoko Channel

Kamis, Oktober 13, 2016

Asas Accusatoir - by Yusuf Parlindungan

Pengundangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertujuan untuk menegakkan hukum dengan perlindungan hak asasi dari terdakwa dimana tersangka atau terdakwa merupakan subjek bukan sebagai objek dalam sistem peradilan pidana mulai dari tingkat penyidikan,penuntutan, pengadilan sampai tahap pelaksanaan putusan (sistem accusatoir), sehingga tersangka/terdakwa mempunyai kedudukan dan hak serta kewajiban yang sama dengan penyidik dan penuntut umum dalam menyelesaikan perkara pidana sesuai dengan hukum pidana yang berlaku (Selengkapnya lihat Putusan Pengadilan Negeri Nabire Nomor 05/Pid-B/2011/PN.Nbe, hlm. 19).

KUHAP bercirikan crime control model yang hanya mengutamakan efisien dan efektifitas proses peradilan pidana yang lebih mengutamakan kekuasaan negara, serta dilandasi dengan prinsip praduga bersalah (presumption of kill) sudah ditinggalkan dan digantikan dengan due process model yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga negara dengan dilandasi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Di Indonesia hal ini terkenal dengan pergeseran dari sistem inquisitoir ke arah sistem accusatoir. Pada tahun 2000 dinyatakan bahwa tugas yuridis hukum pidana tidak hanya mengontrol masyarakat, tetapi juga mengontrol penguasa (Selengkapnya lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-IX/2011, hlm. 32).

Berdasarkan Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B.), yang dimaksud dengan accusatoir adalah memberikan kesempatan kepada seorang tersangka untuk dapat didampingi pembela pada waktu perkaranya mulai diperiksa oleh Polisi. Hal ini selengkapnya diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan dalam ayat (6) pasal 83h ini ada hubungannya dengan perihal "penasehat hukum" atau "pembela" dalam berperkara. Bolehkah seorang tersangka pada waktu diperiksa perkaranya oleh Polisi atau Jaksa (pemeriksaan pendahuluan) dibantu oleh seorang pembela atau penasihat hukum? Menurut ayat (6) pasal ini jika seorang tersangka dituduh melakukan sesuatu kejahatan yang diancam dengan pidana mati, maka Jaksa wajib menanyakan kepadanya apakah ia berkehendak di sidang pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau ahli hukum. Menurut pasal 254 (1) H.I.R. seorang terdakwa memang berhak untuk kepentingannya didampingi oleh pembela, ini boleh seorang sarjana hukum atau ahli hukum lain yang biasa disebut pokrol atau pengacara, malahan menurut pasal 250 (5) H.I.R. bagi terdakwa yang dituduh melakukan peristiwa pidana yang ada ancamannya pidana mati, oleh Hakim ditunjuk seorang penasihat hukum dengan percuma, akan tetapi hal ini mengenai pada waktu di sidang pengadilan, atau tepatnya setelah perkara itu diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pada waktu pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan 'hak tersangka atas bantuan seorang pembela, sehingga Jaksa atau Jaksa Pembantu berwenang menolak seorang pembela yang akan mendampingi tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan, ini adalah sifat inquisitoir yang masih melekat pada H.I.R., lain halnya dengan hukum acara pidana di Negeri Belanda misalnya yang sifatnya sudah accusatoir, yaitu memberikan kesempatan kepada seorang tersangka untuk dapat didampingi pembela pada waktu perkaranya mulai diperiksa oleh Polisi. Dalam Undang-undang Pokok Kehakiman (UU. No. 14/1970) telah ditentukan, bahwa tersangka sejak saat ditangkap/ditahan (pemeriksaan pendahuluan) berhak untuk dibantu oleh pembela atau penasihat hukum, cara bagaimana pelaksanaannya masih harus diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Selama undang-undang yang baru ini belum dibuat, maka yang berlaku masih tetap peraturan yang ditentukan dalam H.I.R. (Lihat penjelasan atas Pasal 83h ayat (6) HIR atau RIB).


Lihat Asas-asas Lainnya:



















Rabu, Oktober 12, 2016

Asas Fiat Justitia et Pereat Mundus dan Fiat Justitia et Ruat Coelum - by Doris Abdi dan Joel Roberto Simangunsong

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Tiga unsur yang selalu harus diperhatikan dalam menegakkan hukum adalah kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechttigkeit). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XIII/2015, hlm. 22.

Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak boleh menyimpang: fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XIII/2015, hlm. 22).

Mengulang kembali, terhadap pertanyaan mengapa hukum harus ditegakkan? Sudikno Mertokusumo dan Pitlo menjawabnya dengan mengatakan karena setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit sebagaimana istilah yang biasa didengar “fiat justitia et pereat mundus”, yaitu hendaklah hukum ditegakkan meskipun langit akan runtuh (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PHPU.D-X/2012, hlm. 51 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PHPU.D-X/2012, hlm. 100).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa fiat justitia et pereat mundus diartikan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan atau hendaklah hukum ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Hal tersebut sama halnya dengan arti dari asas hukum fiat justitia et ruat coelum.

Namun demikian, IKADIN mempertanyakan manakah di antara dua maksim hukum ini yang paling tepat dipedomani, fiat justitia et ruat caelum yang artinya keadilan harus ditegakkan sekalipun langit runtuh atau fiat justitia ne pereat mundus, keadilan harus ditegakkan agar dunia tidak runtuh (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010, hlm. 337).






Lihat Asas-asas Lainnya:

















Senin, Oktober 10, 2016

Asas Ubi Societas Ibi Ius - by Febryan Jabat Santoso

Aristoteles pernah melontarkan pendapat Ubi Societas Ibi Ius yang berarti di mana ada suatu masyarakat, maka di situ terdapat hukum. Menurut Van Apeldoorn, hukum harus bisa menjelaskan gejala sosial di masyarakat (Selengkapnya lihat: Putusan Pengadilan Maros Nomor 105/Pid.Sus/2015/PN.Mrs, hlm. 22).

Hukum itu hadir di tengah-tengah masyarakat, dengan maksud untuk menertibkan masyarakat. Adagium ubi societas ibi ius yang sudah diperkenalkan sejak zaman Romawi Kuno, bermakna di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Artinya hukum itu berperan di dalam masyarakat. Hukum itu mengatur hubungan hukum masyarakat. Dengan demikian segala sesuatu yang hanya untuk kepentingan diri sendiri, tidak berkaitan dengan orang lain, tidak dapat diatur oleh hukum (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-VIII/2010, hlm. 24-25).



Lihat Asas-asas Hukum Lainnya:
















Asas Retroaktif - by Lutfil Aziz.

Minggu, Oktober 09, 2016

Asas Retroaktif - by Lutfil Aziz

Asas legalitas di dalam Hukum Pidana atau Hukum Pidana Materiil diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Pada pasal tersebut, dinyatakan bahwa: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Terjemahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diperoleh dari Situs Resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan alamat: http://jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/4.-Hukum-Acara/Kitab-Undang-Undang-Hukum/, diakses pada tanggal 26 Mei 2015). Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat (2) KUHP, diatur ketentuan mengenai asas retroaktif. Pada pasal tersebut, disebutkan bahwa bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya ((Terjemahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diperoleh dari Situs Resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan alamat: http://jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/4.-Hukum-Acara/Kitab-Undang-Undang-Hukum/, diakses pada tanggal 26 Mei 2015).


Asas yang pokok dalam hukum pidana Indonesia, adalah asas legalitas [Pasal 1 ayat (1) KUHP] dan asas retroaktif atau asas berlaku surut [Pasal 1 ayat (2) KUHP]. Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatur tentang tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) KUHP mengatur tentang jika sesudah perbuatan yang dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan maka dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa/terpidana (Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008, hlm. 33).

Menurut Harun Alrasid, dengan merujuk pada ruh yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Straftrecht yang merupakan asas yang bersifat universal, tidak ada penafsiran lain kecuali bahwa asas non-retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak (Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, hlm. 42). Menurut Andi Hamzah, prinsip non-retroaktif bukan hanya berlaku dalam hukum pidana materiil tetapi juga dalam hukum pidana formil. Asas non-retroaktif adalah berlaku universal, hanya pernah diterobos oleh PBB untuk kejahatan-kejahatan yang tergolong extra ordinary crimes, sementara korupsi, tidak tergolong ke dalam kejahatan demikian, karena korupsi itu banyak macamnya, mulai dari kecil sampai dengan yang besar sekali (Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 069/PUU-II/2004, hlm. 68).




Lihat Asas-asas Lainnya:















Sabtu, Oktober 01, 2016

Asas Wo Kein Klager ist; ist Kein Richter – Kalau Tidak Ada Tuntutan Hak, Maka Tidak Ada Peradilan - by Susi Susanti

Asas Wo Kein Klager ist; ist Kein Richter – Kalau Tidak Ada Tuntutan Hak, Maka Tidak Ada Peradilan - by Susi SusantiSyarat mutlak untuk berperkara di depan Pengadilan (untuk perkara perdata, pen) adalah harus ada unsur sengketa antara kedua belah pihak berperkara. Dengan kata lain suatu perkara harus mengandung sengketa, sebab dalam hukum acara perdata ”ada sengketa ada perkara (gen blang gen actie)”. Adigium lain menyebutkan ”kalau tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada peradilan (wo kein klager ist, ist kein richter)” sebagaimana maksud Pasal 283 R.Bg (Selengkapnya lihat: Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan Nomor 39/Pdt.G/2015/PTA.Mdn, hlm. 2).


Dalam asas-asas Hukum Acara Perdata, salah satunya adalah hakim bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan tuntutan atau gugatan adalah hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan, demikian pameo yang tidak asing lagi (wo kein klager ist, ist kein richter, nemo judex sine actore). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1399 K/Pdt/2012, hlm. 12.


Menurut Moh. Taufik Makarao, dalam bukunya "Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata" (hal. 8), dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada Penggugat, maka Penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, setelah berperkara diajukan, ia dalam batas-batas tertentu dapat mengubah atau mencabut kembali gugatannya. (lihat Putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 Oktober 1970 Nomor 546 K/Sip/1970, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia, diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, penerbitan 1971, halaman 374-red). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1372 K/Pdt/2013, hlm. 9.


Masih menurut Makarao, apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada Hakim (wo kein klager ist, ist kein richter; nemo judex sine actore). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang Hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya (judex ne procedat ex officio). Termasuk dalam menentukan siapa yang akan digugat, tentu Penggugat tahu siapa yang "dirasa" telah melanggar haknya dan merugikan dirinya. Dengan demikian, Penggugat dapat memilih siapa yang akan dijadikan Tergugat dengan mencantumkannya dalam surat gugatan (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1372 K/Pdt/2013, hlm. 10).



Lihat Asas-asas Lainnya: