Pengumuman
Rabu, September 28, 2016
Asas Legalitas – by Putra Wahyu Pratana, Linda Lie, Raja Fatimah, Muhammad Fadillah, and Eko Satria Putra
Memberlakukan suatu ketentuan hukum
pidana tanpa dirumuskan lebih dahulu secara tertulis (secara legitim)
pada hakikatnya melanggar asas legalitas (Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, hlm. 83). Oleh
karena itu, sudah tepat aturan yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang
menganut asas: Nullum
delictum, nullapuna sine praevia lege punali (tidak ada pelanggaran dan
tidak ada hukuman jikalau tidak lebih dulu ada suatu aturan hukum pidana).
Pasal 1 ayat (1) KUHP itu sendiri berbunyi: “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Diposting oleh
Duwi Handoko (DoeHand)
Asas Litis Finiri Oportet – By Ali Sahbana Munthe
Asas “Litis Finiri Oported” atau asas “Suatu Perkara Harus Ada
Akhir” menjadi bagian dalam penegakan hukum di Indonesia.
Suatu perkara (permasalahan hukum yang harus diselesaikan) dinyatakan berakhir
apabila tidak terdapat lagi “upaya hukum biasa” dan “upaya hukum luar biasa”.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor
45/PUU-XIII/2015, disebutkan bahwa: memang benar di dalam ilmu hukum terdapat
asas litis finiri oportet, yakni
setiap perkara harus ada akhirnya. Namun, menurut Mahkamah Konstitusi, hal itu
berkaitan dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana
asas tersebut tidak secara rigid (kaku) dapat diterapkan karena hanya dengan
membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan
adanya keadaaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang
begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan
hukum dan keadilan (Lihat: Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945) serta sebagai konsekuensi dari asas negara
hukum.
Diposting oleh
Duwi Handoko (DoeHand)
Selasa, September 27, 2016
Asas Ne Bis in Idem – By Johan Elvianus Hondro and Selamata
Asas “Ne Bis in Idem” atau asas “Tiada Penuntutan untuk Kedua
Kalinya terhadap Subjek Hukum yang Telah Diputus Pengadilan dan Putusan tersebut
Telah Memiliki Kekuatan Hukum Tetap” dalam Hukum Pidana positif Indonesia
diatur dalam Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menurut Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang
tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia
terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian
hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di
tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.”
Menurut Pasal 76 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka
terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan
penuntutan dalam hal: 1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari
tuntutan hukum; 2. putusan berupa
pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang
untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
Asas “The Presumption of Innocence” atau asas “Praduga Tak Bersalah”.
Diposting oleh
Duwi Handoko (DoeHand)
Asas The Presumption of Innocence – by Edison Hulu and Fauzan Gunovan
Asas “The Presumption of Innocence” atau asas “Praduga Tak Bersalah” dalam
Hukum Pidana positif Indonesia diatur dalam dua undang-undang, yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Menurut Butir 3 huruf c Penjelasan Umum KUHAP, disebutkan bahwa: “Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.”
Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa: “Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.”
Diposting oleh
Duwi Handoko (DoeHand)
Langganan:
Postingan (Atom)