Pengumuman

Ajukan Pertanyaan via WhatsApp: +62-813-1971-1721 Apabila Komentar Anda Belum Memperoleh Tanggapan | Miliki Sekarang Juga: Buku-buku Karangan Duwi Handoko | Don't Forget to Like, Comment, Share, and Subscribe to: Duwi Handoko Channel

Sabtu, Oktober 01, 2016

Asas Hukum Islam: Qishaash – by Juan Herbert Antameng

Surat Al Baqarah (terdiri dari 286 ayat) turun di Madinah yang sebahagian besar diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281 diturunkan di Mina pada Hajji wadaa' (hajji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir). Seluruh ayat dari surat Al Baqarah termasuk golongan Madaniyyah, merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat Al Quran yang di dalamnya terdapat pula ayat yang terpanjang (ayat 282). 

Surat ini dinamai Al Baqarah karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67 sampai dengan 74), dimana dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya. Dinamai Fusthaatul-Quran (puncak Al Quran) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat yang lain. Dinamai juga surat alif-laam-miim karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim.

Hukum-hukum dalam surat Al Baqarah adalah:
  1. Perintah mengerjakan shalat; 
  2. Menunaikan zakat;
  3. Hukum puasa; 
  4. Hukum haji dan umrah; 
  5. Hukum qishash;
  6. Hal-hal yang halal dan yang haram; 
  7. Bernafkah di jalan Allah; 
  8. Hukum arak dan judi; 
  9. Cara menyantuni anak yatim, 
  10. Larangan riba; 
  11. Hutang piutang; 
  12. Nafkah dan yang berhak menerimanya; 
  13. Wasiat kepada dua orang ibu-bapa dan kaum kerabat; 
  14. Hukum sumpah; 
  15. Kewajiban menyampaikan amanat; 
  16. Sihir; 
  17. Hukum merusak mesjid; 
  18. Hukum merubah kitab-kitab Allah; 
  19. Hukum haidh, 'iddah, thalak, khulu', ilaa' dan hukum susuan; 
  20. Hukum melamar, mahar, larangan mengawini wanita musyrik dan sebaliknya; dan
  21. Hukum perang.
Berdasarkan uraian di atas, hukum qishash adalah salah satu hukum yang diatur dalam surat Al Baqarah. Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Allah menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaashdan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.

Dalam surat Al Baqarah, hukum qishash diuraikan pada ayat 178, 179, dan ayat 194.
Ketentuan ayat 178 surat Al Baqarah dalam terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia adalah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Ketentuan ayat 179 surat Al Baqarah dalam terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia adalah: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Ketentuan ayat 194 surat Al Baqarah dalam terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia adalah: Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang orang yang bertakwa.”

Sebagai bagian penutup, diuraikan ketentuan pada ayat 32 surat Al Maa’idah yang dalam terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia adalah: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”

Sumber Kutipan: Al Quran Digital Versi 2.1. Freeware (C) Hak Cipta Hanya Milik Allah subhanahu wata’ala. Dipublikasikan oleh: http://www.alquran-digital.com.


Lihat Asas-asas Lainnya:












Asas Unus Testis Nullus Testis by Al Ma’arif and Laisa Damayanti.

Jumat, September 30, 2016

Asas Unus Testis Nullus Testis by Al Ma’arif and Laisa Damayanti



Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; dan e. keterangan terdakwa.

Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, ditegaskan bahwa: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Diadili dengan satu saksi saja, tidak ada alat bukti lain, maka orang yang bersangkutan akan bebas, unus testis, nulus testis satu saksi bukan saksi, kecuali diperkuat dengan alat bukti lain (Selengkapnya Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 069/PUU-II/2004, hlm. 22).

Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Berdasarkan penjelasan atas Pasal 185 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

Menurut Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Menurut Pasal 185 ayat (3) KUHAP, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

Menurut Pasal 185 ayat (4) KUHAP, keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Menurut Pasal 185 ayat (5) KUHAP, baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

Menurut Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Menurut penjelasan atas Pasal 185 ayat (6) KUHAP, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur dan obyektif.

Menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.



Lihat Asas-asas Lainnya:












Asas Nasional Pasif dan Asas Universal by Debora Christanti dan Andre Irawan

Berdasarkan Pasal 4 KUHP, diatur tentang asas nasional pasif dan asas universal. Pada Pasal tersebut disebutkan bahwa “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
  1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108, dan 131;
  2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
  3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu; dan
  4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.”


Lihat Asas-asas Lainnya:











Asas Nasional Aktif by Loni Agustin and Sepka Miko

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) KUHP, dinyatakan bahwa “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan: 1). salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451. 2). salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.”

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) KUHP, dinyatakan bahwa “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.” Contoh kasus penerapan Pasal 5 KUHP dalam praktik peradilan di Indonesia, disajikan di bawah ini.


Ada dua kekeliruan nyata yang fatal dari Hakim yang berpendapat bahwa terhadap obyek perkara a quo dapat diberlakukan Hukum Pidana Indonesia, yaitu (Putusan Mahkamah Agung Nomor 87 PK/Pid/2013, hlm. 31-32):


  1. Menunjuk pada asas pemberlakuan hukum pidana Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) sub ke 2 KUHP, maka Hakim Praperadilan telah salah dalam menggunakan keterangan ahli, Ahli Prof. Dr. Edward Omar Syarif Hieriej, S.H., M.Hum" mengenai teori akibat/materiil, yaitu yang memberikan keterangan bahwa hukum Indonesia memiliki yurisdiksi atas dugaan tindak pidana yang terjadi di luar negeri (Hongkong atau Singapura), sepanjang menimbulkan akibat dampak kerugian bagi Warga Negara Indonesia atau perusahaan vang didirikan menurut hukum dan berkedudukan di Indonesia. Sedangkan faktanya pihak Pelapor/Termohon PK yang mengaku sebagai korban adalah Toh Keng Siong warga negara Singapura dan Apperchance perusahaan Hongkong bermodal/ber-asset HK$ 2 (dua dollar Hongkong) yang beralamat menumpang, dan tidak mempunyai aktifitas usaha dan tidak mempunyai karyawan.
  2. Pendapat Ahli tersebut di atas adalah sekitar mengenai doktrin/teori berlakunya hukum pidana Indonesia di luar batas wilayah hukum Indonesia akan tetapi penerapannya harus tetap dilandaskan ketentuan perundang- undangan pidana yang berlaku (hukum positif) asas nasional aktif (vide pasal 5 ayat (1) sub ke 2 KUHP). Tanpa ketentuan Pasal 5 ayat (1) sub ke 2 KUHP maka penuntutan dan peradilan terhadap perkara a quo batal demi hukum (van rechtwege nieteg).

Berdasarkan Pasal 6 KUHP, disebutkan bahwa “Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.”




Lihat Asas-asas Lainnya:









Asas Equality Before the LawSimilia Similibus Persamaan dalam Hukum – by Ryan Damas Jayantri and Raja Juraidah Jaya.

Kamis, September 29, 2016

Asas Equality Before the Law– Similia Similibus – Persamaan dalam Hukum - by Ryan Damas Jayantri dan Raja Juraidah Jaya

Equality Before the Law adalah salah satu unsur dari The Rule of Law Principle menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Elemen-elemen “the rule of law principles” menurut PBB tersebut selengkapnya adalah: 1) supremacy of law; 2). equality before the law; accountability to the law; fairness in the application of the law; separation of power; legal certainty; avoidance of arbitrary; dan procedural of legal certainty (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XI/2013, hlm. 10).

Persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah salah satu penyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum (Rechstaat) yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum (The Rule of Law/Rechtstaat) dalam arti yang sebenarnya, yakni: 1) Supremasi hukum (supremacy of Law); 2) Persamaan dalam Hukum (equality before the Law); 3) Asas Legalitas (due process of law); 4) Pembatasan Kekuasaan; 5) Organ-Organ Eksekutif Independen; 6) Peradilan bebas dan tidak memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Peradilan Tata Negara (constitutional court); 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 10) Bersifat Demokratis (democratisch rechtstaat); 11) Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechtsstaat); serta 12). Transparansi dan Kontrol sosial (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, hlm. 9-10).

Jimly Asshiddiqie, menegaskan terkait “Persamaan dalam Hukum (equality before the law), adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang sudah jauh lebih maju (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, hlm. 10).

Secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal
27 ayat (1) dan 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.“

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Prinsip Equality Before the Law adalah istilah asing dalam Bahasa Inggris untuk menyebutkan asas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam Bahasa Latin, istilah untuk menyebutkan asas tersebut menurut hemat penulis adalah dapat dengan menggunakan istilah similia similibus.

Asas Similia Similibus berarti perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama atau serupa (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 369 K/TUN/2011, hlm. 13).


Lihat Asas-asas Lainnya: