Pengumuman

Ajukan Pertanyaan via WhatsApp: +62-813-1971-1721 Apabila Komentar Anda Belum Memperoleh Tanggapan | Miliki Sekarang Juga: Buku-buku Karangan Duwi Handoko | Don't Forget to Like, Comment, Share, and Subscribe to: Duwi Handoko Channel

Rabu, September 28, 2016

Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori – by Novriyani Irja

Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori – by Novriyani Irja

Berdasarkan ajaran tentang ruang lingkup (gebeidsleer) dari Logemann, yang menyatakan bahwa pemberlakuan suatu norma dalam suatu peraturan perundang-undangan itu didasarkan pada tiga domain yakni: a) persoonen gebied; b) ruimtelijke gebied, dan c) tijdsgebied


Kaitannya dengan ruang lingkup berlakunya hukum dari aspek domain waktu (tijdsgebied/sphere of time)), maka setiap norma itu memiliki domain waktu daya pemberlakuannya. Dengan demikian, dari domain tijdsgebied ini dalam Ilmu Perundang-undangan lahirlah istilah hukum, konsep, dan asas perundang-undangan antara lain: a) ius constitutum-ius constituendum; b) lex posterior derogat legi priori; c) intertemporalrecht-transituursrecht; d) retroactivenonretroactive; e) tempus delictus, f) “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”, yang kesemuanya itu berkenaan dengan daya berlakunya suatu norma (tijdsgebied) dalam suatu peraturan perundang-undangan (Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-VIII/2010, hlm. 52).


Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori (peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu) merupakan salah satu asas peraturan perundang-undangan. Asas peraturan perundang-undangan lainnya adalah seperti asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/SKLN-XI/2013, hlm. 20.


Salah satu contoh dari pemberlakuan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori adalah sebagaimana diatur di dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.


Apabila diperhatikan gambar asas hukum yang tertera pada postingan kali ini, Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bukan berarti dasar hukum dari asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, melainkan hanya contoh dari penerapan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori.


Lihat Asas-asas Lainnya:









Asas Legalitas – by Putra Wahyu Pratana, Linda Lie, Raja Fatimah, Muhammad Fadillah, and Eko Satria Putra

Memberlakukan suatu ketentuan hukum pidana tanpa dirumuskan lebih dahulu secara tertulis (secara legitim) pada hakikatnya melanggar asas legalitas (Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, hlm. 83). Oleh karena itu, sudah tepat aturan yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menganut asas: Nullum delictum, nullapuna sine praevia lege punali (tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman jikalau tidak lebih dulu ada suatu aturan hukum pidana). Pasal 1 ayat (1) KUHP itu sendiri berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas dapat pula diketahui dari adagium atau pepatah atau peribahasa yang dinyatakan oleh von Feuerbach (Lihat; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 132/PHPU.D-XI/2013, hlm. 35), yang berbunyi: “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau dengan kata lain: 1) tidak ada hukuman, kalau tak ada undang-undang; 2) tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan; dan 3) tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan undang-undang.
















Lihat Asas Lainnya:



Asas Litis Finiri Oportetby Ali Sahbana Munthe.


https://invite.cashtree.id/9c5aed

Asas Litis Finiri Oportet – By Ali Sahbana Munthe

Asas Litis Finiri Oportet – By Ali Sahbana MuntheAsas “Litis Finiri Oported atau asas “Suatu Perkara Harus Ada Akhir” menjadi bagian dalam penegakan hukum di Indonesia.

Suatu perkara (permasalahan hukum yang harus diselesaikan) dinyatakan berakhir apabila tidak terdapat lagi “upaya hukum biasa” dan “upaya hukum luar biasa”.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 45/PUU-XIII/2015, disebutkan bahwa: memang benar di dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, yakni setiap perkara harus ada akhirnya. Namun, menurut Mahkamah Konstitusi, hal itu berkaitan dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid (kaku) dapat diterapkan karena hanya dengan membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan (Lihat: Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.


Lihat Asas Lainnya:





Selasa, September 27, 2016

Asas Ne Bis in Idem – By Johan Elvianus Hondro and Selamata

Asas “Ne Bis in Idem atau asas “Tiada Penuntutan untuk Kedua Kalinya terhadap Subjek Hukum yang Telah Diputus Pengadilan dan Putusan tersebut Telah Memiliki Kekuatan Hukum Tetap” dalam Hukum Pidana positif Indonesia diatur dalam Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Asas Ne Bis in Idem – By Johan Elvianus HondroMenurut Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.”

Menurut Pasal 76 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: 1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;  2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.







Lihat asas lainnya: 
Asas “The Presumption of Innocence atau asas “Praduga Tak Bersalah”.

Asas The Presumption of Innocence – by Edison Hulu and Fauzan Gunovan

Asas The Presumption of Innocence – By Edison HuluAsas “The Presumption of Innocence atau asas “Praduga Tak Bersalah” dalam Hukum Pidana positif Indonesia diatur dalam dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Menurut Butir 3 huruf c Penjelasan Umum KUHAP, disebutkan bahwa: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”


Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”