Pengumuman

Ajukan Pertanyaan via WhatsApp: +62-813-1971-1721 Apabila Komentar Anda Belum Memperoleh Tanggapan | Miliki Sekarang Juga: Buku-buku Karangan Duwi Handoko | Don't Forget to Like, Comment, Share, and Subscribe to: Duwi Handoko Channel

Jumat, September 30, 2016

Asas Nasional Aktif by Loni Agustin and Sepka Miko

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) KUHP, dinyatakan bahwa “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan: 1). salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451. 2). salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.”

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) KUHP, dinyatakan bahwa “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.” Contoh kasus penerapan Pasal 5 KUHP dalam praktik peradilan di Indonesia, disajikan di bawah ini.


Ada dua kekeliruan nyata yang fatal dari Hakim yang berpendapat bahwa terhadap obyek perkara a quo dapat diberlakukan Hukum Pidana Indonesia, yaitu (Putusan Mahkamah Agung Nomor 87 PK/Pid/2013, hlm. 31-32):


  1. Menunjuk pada asas pemberlakuan hukum pidana Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) sub ke 2 KUHP, maka Hakim Praperadilan telah salah dalam menggunakan keterangan ahli, Ahli Prof. Dr. Edward Omar Syarif Hieriej, S.H., M.Hum" mengenai teori akibat/materiil, yaitu yang memberikan keterangan bahwa hukum Indonesia memiliki yurisdiksi atas dugaan tindak pidana yang terjadi di luar negeri (Hongkong atau Singapura), sepanjang menimbulkan akibat dampak kerugian bagi Warga Negara Indonesia atau perusahaan vang didirikan menurut hukum dan berkedudukan di Indonesia. Sedangkan faktanya pihak Pelapor/Termohon PK yang mengaku sebagai korban adalah Toh Keng Siong warga negara Singapura dan Apperchance perusahaan Hongkong bermodal/ber-asset HK$ 2 (dua dollar Hongkong) yang beralamat menumpang, dan tidak mempunyai aktifitas usaha dan tidak mempunyai karyawan.
  2. Pendapat Ahli tersebut di atas adalah sekitar mengenai doktrin/teori berlakunya hukum pidana Indonesia di luar batas wilayah hukum Indonesia akan tetapi penerapannya harus tetap dilandaskan ketentuan perundang- undangan pidana yang berlaku (hukum positif) asas nasional aktif (vide pasal 5 ayat (1) sub ke 2 KUHP). Tanpa ketentuan Pasal 5 ayat (1) sub ke 2 KUHP maka penuntutan dan peradilan terhadap perkara a quo batal demi hukum (van rechtwege nieteg).

Berdasarkan Pasal 6 KUHP, disebutkan bahwa “Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.”




Lihat Asas-asas Lainnya:









Asas Equality Before the LawSimilia Similibus Persamaan dalam Hukum – by Ryan Damas Jayantri and Raja Juraidah Jaya.

Kamis, September 29, 2016

Asas Equality Before the Law– Similia Similibus – Persamaan dalam Hukum - by Ryan Damas Jayantri dan Raja Juraidah Jaya

Equality Before the Law adalah salah satu unsur dari The Rule of Law Principle menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Elemen-elemen “the rule of law principles” menurut PBB tersebut selengkapnya adalah: 1) supremacy of law; 2). equality before the law; accountability to the law; fairness in the application of the law; separation of power; legal certainty; avoidance of arbitrary; dan procedural of legal certainty (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XI/2013, hlm. 10).

Persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah salah satu penyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum (Rechstaat) yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara hukum (The Rule of Law/Rechtstaat) dalam arti yang sebenarnya, yakni: 1) Supremasi hukum (supremacy of Law); 2) Persamaan dalam Hukum (equality before the Law); 3) Asas Legalitas (due process of law); 4) Pembatasan Kekuasaan; 5) Organ-Organ Eksekutif Independen; 6) Peradilan bebas dan tidak memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Peradilan Tata Negara (constitutional court); 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 10) Bersifat Demokratis (democratisch rechtstaat); 11) Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechtsstaat); serta 12). Transparansi dan Kontrol sosial (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, hlm. 9-10).

Jimly Asshiddiqie, menegaskan terkait “Persamaan dalam Hukum (equality before the law), adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang sudah jauh lebih maju (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, hlm. 10).

Secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal
27 ayat (1) dan 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.“

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Prinsip Equality Before the Law adalah istilah asing dalam Bahasa Inggris untuk menyebutkan asas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam Bahasa Latin, istilah untuk menyebutkan asas tersebut menurut hemat penulis adalah dapat dengan menggunakan istilah similia similibus.

Asas Similia Similibus berarti perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama atau serupa (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 369 K/TUN/2011, hlm. 13).


Lihat Asas-asas Lainnya:














Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali - Dalam Hal Ada Ketentuan Khusus dan Ada Ketentuan Umum, yang Dipergunakan adalah Ketentuan Khusus - by Muhammad Fadillah and Dina Rahmawati

Sering terjadi dalam sistem peraturan perundang-undangan, undang-undang yang datang (terbaru, pen), kemudian lebih mempunyai kekuatan menentukan daripada undang-undang sebelumnya. Kecuali jika undang-undang sebelumnya lebih tinggi kedudukan hukumnya seperti kedudukan Undang-Undang Dasar terhadap undang-undang. Jika demikian masalahnya, dapat dijadikan masalah legalitas daripada ketentuan yang lebih rendah terhadap ketentuan yang lebih tinggi. Juga ketentuan yang ditetapkan kemudian, sering dapat dianggap sebagai ketentuan khusus yang lebih kuat dari ketentuan yang bersifat umum sebelumnya. Ini dalam dalil hukum internasional, seringkali dikatakan lex specialis derogat legi generalis (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012, hlm. 135).



Berdasarkan asas perundang-undangan yang berlaku, terdapat asas lex specialis derogat legi generali, yaitu segala sesuatu yang telah diatur secara khusus di dalam undang-undang mengalahkan hal yang bersifat umum yang diatur di dalam undang-undang (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008, hlm. 3). Atau dengan kata lain, asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis berarti aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/SKLN-XI/2013, hlm. 20).

Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, disebutkan bahwa “Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan. Dalam penjelasannya menyatakan dikatakan Lex Specialis Derogat Legi Generali. Yang artinya, undang-undang khusus meniadakan undang-undang umum. Undang-undang khusus ialah undang-undang yang berisikan undang-undang umum ditambah dengan sesuatu lagi yang lain (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VI/2008, hlm. 9).

Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 42/PUU-VI/2008, disebutkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP berlaku asas lex specialis derogat legi generali, yaitu dalam hal ada ketentuan khusus dan ada ketentuan umum, yang dipergunakan adalah ketentuan khusus. Selain asas tersebut, dikenal juga asas lex posterior derogat legi priori, yang berarti hukum baru mengesampingkan hukum yang lama. Meskipun demikian, kedua asas tersebut berkaitan dengan penerapan hukum oleh instansi yang berwenang bukan masalah konstitusionalitas norma, sehingga seperti Mahkamah tidak berwenang menilainya (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VI/2008, hlm. 21).


Lihat Asas-asas Lainnya:








 Duwi Handoko

Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur - Apa yang Telah Diputus oleh Hakim Harus Dianggap Benar - by Raja Fatimah

Res judicata pro veritate habetur adalah salah satu prinsip dalam kekuatan putusan hakim. Res judicata pro veritate habetur menurut Sudikno Mertokusumo adalah prinsip mengenai kekuatan suatu putusan dalam arti positif, yaitu apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006, hlm. 12).
Menurut Mahkamah Konstitusi, Res Judicata Pro Veritate Habetur berarti putusan hakim itu dianggap benar dan harus dihormati (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PHPU.D-X/2012, hlm. 71).

Pembatasan terhadap prinsip res judicata pro veritate habetur adalah putusan pengadilan itu haruslah dianggap benar sebelum pengadilan yang lebih tinggi memutus lain (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PHPU.D-XI/2013, hlm. 38).

Dalam perkara Nomor 101/PHPU.D-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan, yaitu adalah suatu prinsip bahwa putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) sampai dinyatakan adanya putusan pengadilan yang lebih tinggi yang berwenang yang membatalkan putusan tersebut (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PHPU.D-X/2012, hlm. 152-153).

Sebagai bagian penutup, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya memegang prinsip bahwa putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) sampai dinyatakan adanya putusan pengadilan yang lebih tinggi yang berwenang yang membatalkan putusan tersebut (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2013, tanggal 22 November 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PHPU.D-X/2013, tanggal 5 November 2013, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PHPU.DX/ 2013, tanggal 15 Januari 2013 ). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PHPU.D-XI/2013, hlm. 30.


Lihat Asas-asas Lainnya:









Rabu, September 28, 2016

Asas Teritorial atau Asas Wilayah – by Jumaidi Rahman and Apceria Pardosi

Asas Teritorial atau Asas Wilayah – by Jumaidi Rahman Berdasarkan Pasal 2 KUHP, disebutkan bahwa “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.”

Penerapan asas teritorialitiet sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP, dilakukan dengan memperhatikan tempat terjadinya tindak pidana (Lihat: Putusan Pengadilan Negeri Magetan Nomor 44/Pid.Sus/2015/PN.MGT (Pertambangan), hlm. 20). Hukum pidana dalam ketentuan KUHP sejak tanggal 1 Januari 1918 adalah berlaku untuk setiap orang (algemeen ius commune) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 KUHP (Lihat Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 27/Pid B/2014/PN.PWK, hlm. 9). Kata setiap orang dalam KUHP biasanya disebut dengan “barang siapa”. Dalam beberapa putusan, unsur pidana berupa “barang siapa” biasanya dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 KUHP. Salah satu contoh dari putusan tersebut diuraikan di bawah ini.

Asas Teritorial atau Asas Wilayah – by Apceria PardosiUnsur barang siapa adalah setiap orang selaku subyek hukum, dalam pengertian seseorang secara pribadi atau menunjuk pada suatu badan hukum tertentu yang mampu bertanggungjawab menurut hukum. Sehingga oleh karenanya sebagai salah satu unsur pembentuk delik, maka harus ditafsirkan bahwa unsur barang siapa di sini adalah menunjuk pada orang atau badan hukum yang “mampu” mewujudkan (melakukan) sebuah delik (perbuatan/tindak pidana). Selain itu, unsur ini juga merupakan implementasi atas keberlakuan ketentuan Pasal 2 KUHP, sehingga artinya adalah bahwa “barang siapa” sebagaimana didefinisikan di atas harus juga diterjemahkan sebagai setiap orang pelaku delik yang dapat (boleh) dihukum menurut hukum Indonesia (Lihat: Putusan Pengadilan Negeri Arga Makmur Nomor 214/Pid.B/2013/PN.AM, hlm. 13-14).

Berdasarkan Pasal 3 KUHP, disebutkan bahwa “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.”

Lihat Asas-asas Lainnya: