Pengumuman

Ajukan Pertanyaan via WhatsApp: +62-813-1971-1721 Apabila Komentar Anda Belum Memperoleh Tanggapan | Miliki Sekarang Juga: Buku-buku Karangan Duwi Handoko | Don't Forget to Like, Comment, Share, and Subscribe to: Duwi Handoko Channel

Senin, Oktober 10, 2016

Asas Ubi Societas Ibi Ius - by Febryan Jabat Santoso

Aristoteles pernah melontarkan pendapat Ubi Societas Ibi Ius yang berarti di mana ada suatu masyarakat, maka di situ terdapat hukum. Menurut Van Apeldoorn, hukum harus bisa menjelaskan gejala sosial di masyarakat (Selengkapnya lihat: Putusan Pengadilan Maros Nomor 105/Pid.Sus/2015/PN.Mrs, hlm. 22).

Hukum itu hadir di tengah-tengah masyarakat, dengan maksud untuk menertibkan masyarakat. Adagium ubi societas ibi ius yang sudah diperkenalkan sejak zaman Romawi Kuno, bermakna di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Artinya hukum itu berperan di dalam masyarakat. Hukum itu mengatur hubungan hukum masyarakat. Dengan demikian segala sesuatu yang hanya untuk kepentingan diri sendiri, tidak berkaitan dengan orang lain, tidak dapat diatur oleh hukum (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-VIII/2010, hlm. 24-25).



Lihat Asas-asas Hukum Lainnya:
















Asas Retroaktif - by Lutfil Aziz.

Minggu, Oktober 09, 2016

Asas Retroaktif - by Lutfil Aziz

Asas legalitas di dalam Hukum Pidana atau Hukum Pidana Materiil diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Pada pasal tersebut, dinyatakan bahwa: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Terjemahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diperoleh dari Situs Resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan alamat: http://jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/4.-Hukum-Acara/Kitab-Undang-Undang-Hukum/, diakses pada tanggal 26 Mei 2015). Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat (2) KUHP, diatur ketentuan mengenai asas retroaktif. Pada pasal tersebut, disebutkan bahwa bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya ((Terjemahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diperoleh dari Situs Resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan alamat: http://jdih.mahkamahagung.go.id/v2/beranda/database/4.-Hukum-Acara/Kitab-Undang-Undang-Hukum/, diakses pada tanggal 26 Mei 2015).


Asas yang pokok dalam hukum pidana Indonesia, adalah asas legalitas [Pasal 1 ayat (1) KUHP] dan asas retroaktif atau asas berlaku surut [Pasal 1 ayat (2) KUHP]. Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatur tentang tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) KUHP mengatur tentang jika sesudah perbuatan yang dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan maka dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa/terpidana (Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008, hlm. 33).

Menurut Harun Alrasid, dengan merujuk pada ruh yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Straftrecht yang merupakan asas yang bersifat universal, tidak ada penafsiran lain kecuali bahwa asas non-retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak (Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, hlm. 42). Menurut Andi Hamzah, prinsip non-retroaktif bukan hanya berlaku dalam hukum pidana materiil tetapi juga dalam hukum pidana formil. Asas non-retroaktif adalah berlaku universal, hanya pernah diterobos oleh PBB untuk kejahatan-kejahatan yang tergolong extra ordinary crimes, sementara korupsi, tidak tergolong ke dalam kejahatan demikian, karena korupsi itu banyak macamnya, mulai dari kecil sampai dengan yang besar sekali (Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 069/PUU-II/2004, hlm. 68).




Lihat Asas-asas Lainnya:















Sabtu, Oktober 01, 2016

Asas Wo Kein Klager ist; ist Kein Richter – Kalau Tidak Ada Tuntutan Hak, Maka Tidak Ada Peradilan - by Susi Susanti

Asas Wo Kein Klager ist; ist Kein Richter – Kalau Tidak Ada Tuntutan Hak, Maka Tidak Ada Peradilan - by Susi SusantiSyarat mutlak untuk berperkara di depan Pengadilan (untuk perkara perdata, pen) adalah harus ada unsur sengketa antara kedua belah pihak berperkara. Dengan kata lain suatu perkara harus mengandung sengketa, sebab dalam hukum acara perdata ”ada sengketa ada perkara (gen blang gen actie)”. Adigium lain menyebutkan ”kalau tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada peradilan (wo kein klager ist, ist kein richter)” sebagaimana maksud Pasal 283 R.Bg (Selengkapnya lihat: Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan Nomor 39/Pdt.G/2015/PTA.Mdn, hlm. 2).


Dalam asas-asas Hukum Acara Perdata, salah satunya adalah hakim bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan tuntutan atau gugatan adalah hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan, demikian pameo yang tidak asing lagi (wo kein klager ist, ist kein richter, nemo judex sine actore). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1399 K/Pdt/2012, hlm. 12.


Menurut Moh. Taufik Makarao, dalam bukunya "Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata" (hal. 8), dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada Penggugat, maka Penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, setelah berperkara diajukan, ia dalam batas-batas tertentu dapat mengubah atau mencabut kembali gugatannya. (lihat Putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 Oktober 1970 Nomor 546 K/Sip/1970, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia, diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, penerbitan 1971, halaman 374-red). Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1372 K/Pdt/2013, hlm. 9.


Masih menurut Makarao, apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada Hakim (wo kein klager ist, ist kein richter; nemo judex sine actore). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang Hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya (judex ne procedat ex officio). Termasuk dalam menentukan siapa yang akan digugat, tentu Penggugat tahu siapa yang "dirasa" telah melanggar haknya dan merugikan dirinya. Dengan demikian, Penggugat dapat memilih siapa yang akan dijadikan Tergugat dengan mencantumkannya dalam surat gugatan (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1372 K/Pdt/2013, hlm. 10).



Lihat Asas-asas Lainnya:












Asas Hukum Islam: Qishaash – by Juan Herbert Antameng

Surat Al Baqarah (terdiri dari 286 ayat) turun di Madinah yang sebahagian besar diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281 diturunkan di Mina pada Hajji wadaa' (hajji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir). Seluruh ayat dari surat Al Baqarah termasuk golongan Madaniyyah, merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat Al Quran yang di dalamnya terdapat pula ayat yang terpanjang (ayat 282). 

Surat ini dinamai Al Baqarah karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67 sampai dengan 74), dimana dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya. Dinamai Fusthaatul-Quran (puncak Al Quran) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat yang lain. Dinamai juga surat alif-laam-miim karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim.

Hukum-hukum dalam surat Al Baqarah adalah:
  1. Perintah mengerjakan shalat; 
  2. Menunaikan zakat;
  3. Hukum puasa; 
  4. Hukum haji dan umrah; 
  5. Hukum qishash;
  6. Hal-hal yang halal dan yang haram; 
  7. Bernafkah di jalan Allah; 
  8. Hukum arak dan judi; 
  9. Cara menyantuni anak yatim, 
  10. Larangan riba; 
  11. Hutang piutang; 
  12. Nafkah dan yang berhak menerimanya; 
  13. Wasiat kepada dua orang ibu-bapa dan kaum kerabat; 
  14. Hukum sumpah; 
  15. Kewajiban menyampaikan amanat; 
  16. Sihir; 
  17. Hukum merusak mesjid; 
  18. Hukum merubah kitab-kitab Allah; 
  19. Hukum haidh, 'iddah, thalak, khulu', ilaa' dan hukum susuan; 
  20. Hukum melamar, mahar, larangan mengawini wanita musyrik dan sebaliknya; dan
  21. Hukum perang.
Berdasarkan uraian di atas, hukum qishash adalah salah satu hukum yang diatur dalam surat Al Baqarah. Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Allah menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaashdan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.

Dalam surat Al Baqarah, hukum qishash diuraikan pada ayat 178, 179, dan ayat 194.
Ketentuan ayat 178 surat Al Baqarah dalam terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia adalah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Ketentuan ayat 179 surat Al Baqarah dalam terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia adalah: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Ketentuan ayat 194 surat Al Baqarah dalam terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia adalah: Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang orang yang bertakwa.”

Sebagai bagian penutup, diuraikan ketentuan pada ayat 32 surat Al Maa’idah yang dalam terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia adalah: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”

Sumber Kutipan: Al Quran Digital Versi 2.1. Freeware (C) Hak Cipta Hanya Milik Allah subhanahu wata’ala. Dipublikasikan oleh: http://www.alquran-digital.com.


Lihat Asas-asas Lainnya:












Asas Unus Testis Nullus Testis by Al Ma’arif and Laisa Damayanti.

Jumat, September 30, 2016

Asas Unus Testis Nullus Testis by Al Ma’arif and Laisa Damayanti



Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; dan e. keterangan terdakwa.

Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, ditegaskan bahwa: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Diadili dengan satu saksi saja, tidak ada alat bukti lain, maka orang yang bersangkutan akan bebas, unus testis, nulus testis satu saksi bukan saksi, kecuali diperkuat dengan alat bukti lain (Selengkapnya Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 069/PUU-II/2004, hlm. 22).

Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Berdasarkan penjelasan atas Pasal 185 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

Menurut Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Menurut Pasal 185 ayat (3) KUHAP, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

Menurut Pasal 185 ayat (4) KUHAP, keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Menurut Pasal 185 ayat (5) KUHAP, baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

Menurut Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Menurut penjelasan atas Pasal 185 ayat (6) KUHAP, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur dan obyektif.

Menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.



Lihat Asas-asas Lainnya: